Rabu, 29 Juli 2009

Kisah Sepasang Gir Sepeda

KISAH SEPASANG GIR SEPEDA
Sebuah Refleksi Hidup Berkeluarga
Oleh Y. Tri Susila

Pada suatu hari anakku - yang sedang senang-senangnya bersepeda – merengek : “Pak, tolong sepedaku dibetulkan. Kalau pedalnya dikayuh sering terdengar bunyi berderit, dan rantainya sering terlepas dari gir.” Ternyata, as pada pedal itu terlalu kering, berkarat, tanda jarang diberi oli. Rantainya, selain terlalu kendor, juga kering dan berkarat. Selain itu, posisi gir belakang tidak sebidang dengan gir depan, bergeser ke arah luar. Sepeda itu segera aku betulkan, as pedal dan rantainya aku olesi oli, kemudian rantainya aku tegangkan, dan gir belakang aku geser masuk sehingga sebidang dengan gir depan. Hasilnya, suara berderit lenyap, dan rantai tidak gampang terlepas dari gir. Tetapi anakku masih protes : “Pak, pedalnya kok jadi terlalu berat dikayuh.” Ternyata rantainya terlalu tegang. Segera rantai itu sedikit aku kendorkan, beres deh. Sepanjang sore itu hatiku diliputi rasa syukur melihat anakku tertawa renyah sembari bermain sepeda. Seberapa tegang rantai itu diatur, inilah seninya.

Kalau institusi keluarga dianalogikan sebagai sepeda, maka gir depan dan belakang itu seperti suami dan istri. Sedangkan rantai sepeda itu adalah rantai komunikasi antara suami dan istri.

Tidak jarang rantai komunikasi antara suami istri itu begitu tegang, cenderung bercorak militeristik, yang satu memerintah yang lain, sehingga kita sering mendengar ungkapan “wanito iku ibarat suargo nunut neroko katut” (wanita itu ikut sajalah). Itu terjadi kalau istri berada dalam posisi sub-ordinat suami. Jika situasinya berkebalikan 180 derajat, maka kita sering mendengar istilah para suami DKI (Di bawah Kekuasaan Istri), dan itu menjadi inspirasi para pekerja film sehingga muncullah sinetron Suami-suami Takut Istri. Rantai komunikasi yang terlalu tegang seperti itu tentu tidak nyaman.

Tetapi hati-hati dengan rantai komunikasi yang terlalu kendor. Situasi Jakarta yang macet, sibuk, dan tuntutan ekonomi yang tinggi sering menyeret kita untuk sibuk menimbun rupiah dengan mengikuti program P4 (Pergi Pagi Pulang Pagi lagi). Waktu efektif untuk bercengkerama dengan keluarga menjadi semakin sempit. Waktu untuk keluarga tinggal waktu yang tersisa (jangan-jangan waktu untuk Tuhan juga demikian, atau malah lebih parah lagi). Celakanya, kita sering berlindung di bawah ungkapan “non multa set multum”, yang penting bukan soalnya kuantitasnya, tetapi kualitasnya. Ingat salah satu penyebab mogoknya sepeda anakku adalah karena rantainya terlalu kendor dan itu potensial untuk rantai tersebut terlepas dari girnya.

Kita semua tahu bahwa gesekan antara dua buah mesin akan mengurangi efisiensi kerja mesin itu karena sebagian energi mekaniknya diubah menjadi energi panas dan bunyi. Fungsi oli adalah untuk mengurangi efek negatif dari gesekan itu. Demikian juga agar rantai komunikasi antara suami dan istri menjadi lebih nyaman maka rantai itu perlu diolesi oli. Dan ternyata bahan dasar oli itu 75% nya adalah pengampunan, sedangkan 25% nya adalah campuran antara kasih sayang, tanggung jawab, dan sebagainya. Saya pernah menulis di dalam Wartu Umat bahwa 1 + 1 = 0, yang artinya baik suami maupun istri harus mampu meng-nol-kan sikap egonya masing-masing, sebab jika tidak mampu maka bahtera rumah tangga yang dibangun hanya akan menjadi ajang percekcokan belaka. Rumah tangga tidak dipenuhi oleh litani syukur, malah sebaliknya dipenuhi oleh litani Ragunan. Artinya, sebentar-sebentar nama penghuni bonbin ragunan terungkap dalam percakapan keluarga. Pernah juga saya tulis bahwa 1 + 1 = 2, yang artinya meskipun suami-istri telah dipersatukan Allah, tetaplah mereka sebagai 2 individu yang unik. Oleh karena itu menerima pasangannya apa adanya adalah dasar yang harus dimiliki setiap pasutri. Hanya dengan demikian maka hubungan suami istri yang berawal dari cinta karena berkembang menjadi cinta meskipun. Cinta karena itu maksudnya adalah aku mencintai pasanganku karena ganteng, cantik, pinter masak, kaya, dan seabrek alasan lain. Sedangkan cinta meskipun itu maksudnya adalah aku mencintai pasanganku meskipun kalau tidur mendengkur keras, masakannya hambar, dan seabrek kekurangan ada padanya. Kedua konsep penjumlahan itu sangat dijiwai oleh semangat pengampunan.

Gir depan dan belakang sepeda haruslah sebidang. Kalau tidak, baru sebentar saja sepeda itu dikayuh, rantainya akan terlepas dari girnya dan sepeda akan mogok di tengah jalan. Ini sesuai dengan konsep penjumlahan bahwa 1 + 1 = 1. Artinya, suami dan istri harus memiliki visi dan misi yang sama. Kebijakan suami dan istri dalam membangun rumah tangga, mendidik anak-anak mereka, menentukan skala prioritas kebutuhan keluarga, mengalokasikan dana, dan sebagainya seyogyanya segaris pemikiran. Tidak berarti bahwa tidak ada ruang demokrasi di dalam keluarga. Perbedaaan pandangan tetaplah harus ada, tetapi dengan semangat 1 + 1 = 0, yaitu masing-masing berupaya meng-nol-kan sikap egonya, dan 1 + 1 = 2, yaitu mau menerima pasangannya sebagaimana adanya, dan menyadari bahwa 1 + 1 = 4, yaitu bahwa di dalam bahtera kehidupan mereka telah hadir Yesus dan Bunda Maria, akhirnya suami istri mampu mewujudkan konsep penjumlahan bahwa 1 + 1 = 1, yaitu mereka telah dipersatukan oleh Allah, oleh karena itu tidak boleh diceraikan oleh manusia. Dengan demikian mereka telah membentuk konsep penjumlahan 1 + 1 = 217, yaitu mereka ber-217-an (dibaca berdua satu tujuan), karena mereka telah memiliki visi dan misi yang sama. Selamat berulang tahun perkawinan untuk pasutri yang merayakannya di bulan Juli. Tuhan memberkati.